Saturday, May 7, 2016
KEGIATAN-KEGIATAN TJI LAM TJAY DARI TAHUN 1963 SAMPAI DENGAN 2008
2:37 AM
| Edit Post
KEGIATAN-KEGIATAN TJI LAM TJAY DARI TAHUN 1963 SAMPAI DENGAN 2008
A. CHENG BENG
Salah satu tradisi yang diadakan ialah Cheng Beng. Cheng Beng dilaksanakan setiap bulan 5 tanggal 5 Imlek (5 April). Digelar saat matahari terletak di atas garis balik 23½º Lintang Selatan (LS). Biasanya cuaca sangat cerah, terang benderang, dan langit jernih, maka tepat bila disebut “Ching Bing”. Zaman sebelum Nabi Khonghucu lahir saat Ching Bing sering dihubungkan dengan Hari Makan Dingin (Han Siet Ciat). Disebut demikian, karena aktivitas makan itu dilakukan saat udara dingin, dan sehari penuh tidak menyalakan api dalam rangka memperingati menteri yang suci bernama Kai Cu Cui. Kai Cu Cui sendiri adalah menteri kepercayaan Raja Cin Bun Kon, kaisar pertama yang menganjurkan untuk membersihkan kuburan.
Pada saat dimulainya Dinasti Ming di Tiongkok (1368 – 1644 Masehi), Kaisar Bing Thai Coy yang bergelar Chi Gwan Ciang sudah dilaksanakan tradisi The-Coa (The-Tse), yaitu bagi yang sudah membersihkan kuburan, maka diharuskan menebarkan Ko-Coa di atas kuburan dengan cara ditindih dengan batu. Ko-Coa adalah kertas kuning atau putih berukuran panjang selebar ibu jari tangan.
Awal adanya tradisi The-Coa ini terjadi pada zaman Kaisar Chi Gwan Ciang. Alkisah, ketika itu Kaisar Chi Gwan Ciang kesulitan menemukan makam kedua orang tuanya. Sang kaisar kemudian memerintahkan kepada seluruh rakyatnya agar berziarah ke makam leluhur di hari Ching Bing. Dalam ziarah itu, rakyatnya juga diminta menabrkan Ko-Coa di atas makam.
Nah, setelah rakyatnya sudah selesai berziarah, ternyata ada dua makam yang tidak diberi tanda Ko-Coa. Kaisar Chi Gwan Ciang pun meyakini dua makam itu adalah makam kedua orangtuanya. Sampai saat ini tradisi tersebut masih rutin dilakukan oleh masyarakat yang melakukan Cheng Beng. Hal itu sebagai pertanda bahwa makam leluhur sudah diziarahi.
Di Indonesia karena tanggal 5 April bukan hari libur, maka dapat dilaksanakan 10 hari sebelum atau sesudah hari Cheng Beng. Cheng Beng artinya tilik (menengok) kuburan untuk melakukan bersih–bersih kuburan, sekaligus mendoakan arwah orang yang sudah meninggal.
Cheng Beng sama dengan tradisi nyadran dalam budaya Jawa. Adapun sesaji yang dipersiapkan untuk Cheng Beng, diantaranya sepasang lilin warna merah, 3 cangkir teh, 3 cangkir arak, 3 pisin (piring kecil), teh liau (gula batu), tang-koa (manisan beligo), seng-jin, manisan bi-cian serta makanan kesukaan leluhur semasa hidupnya.
Dari tahun lahirnya tradisi Cheng Beng, sampai sekarang tradisi tersebut masih ada dan masih dilakukan. Karena bagi orang Tionghoa, kegiatan tersebut sangat sakral. Kegiatan tersebut masih diselenggarakan oleh yayasan Tji Lam Tjay. Ketua yayasan kematian Tji Lam Tjay Aman Gautama mengatakan bahwa, setiap tahun Tjie Lam Tjay mengadakan acara itu untuk menyentuh generasi muda agar menghormat para leluhur. Adapun istilah didalam perayaan Cheng Beng yaitu “Dong Kwe Swok” yang berarti tempat untuk semua berpulang bersama. Kuburan ini adalah pindahan dari kuburan di daerah Pekojan. Sekitar 116 tahun yang lalu tulang-belulang di kumpulkan secara massal di Mugas ini. Semula kuburan di Pekojan akan dipindah ke wilayah Bangkong, namun karena lahan tidak cukup, maka dipindah ke daerah Mugas Timur.
B. ULAMBANA
Kegiatan lain yang dilakukan tiap tahun selain Cheng Beng yaitu Ulambana. Ulambana arti harafiahnya “digantung terbalik”, maksudnya derita orang yang telah meninggal bagaikan orang yang digantung terbalik (kepala dibawah). Ternyata tradisi ini telah ada sejak zaman dahulu. Dari Dinasti Liang sampai Dinasti Tang, hari ulambana dirayakan dengan memberikan persembahan kepada Buddha dan Sangha (baik oleh Raja ataupun umat awam). Pada Dinasti Song, ulambana mulai mengutamakan menyembayangi arwah orang mati dengan membakar uang (arwah) dan baju kertas. Tradisi berdana kepada Buddha dan Sangha mulai memudar. Dalam kalangan Bhiksu mulai muncul kritikan terhadap penyimpangan ini. Lalu diajukan pendapat kompromi: Siang memberi persembahan kepada Tri Ratna, malam menolong para arwah. Tetapi pendapat ini kurang mendapat sambutan.
Pada saat ulambana, selain ada pembacaan sutra dan memberi dana makanan kepada arwah, juga ada pemberian dana makanan kepada para Bhiksu. Akhir-akhir ini di sejumlah kalangan Buddhis Taiwan mulai menetapkan hari tersebut sebagai hari Sangha. Dalam masyarakat Awam, hari tersebut dipercayai sebagai hari pembukaan Gerbang Neraka, Setan kelaparan dilepas. Oleh sebab itu banyak yang menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada para arwah dan para pendeta Taoist turut pula di undang untuk menyembayangi para arwah.
Ulambana yang diselenggarakan oleh Tji Lam Tjay dihalaman Klenteng Kong Tik Soe, yang sekaligus berada dekat dengan tempat Tji Lam Tjay sendiri. Perayaan tersebut selalu menarik perhatian masyarakat setiap tahunnya. Maka, mereka berbondong-bondong untuk menyaksikan apa saja yang ada dalam kegiatan tersebut.
C. BALAI PENGOBATAN
Balai pengobatan Tjie Lam Tjay berada di sayap kanan gedung Kong Tik Soe di Jalan Gang No. 60 Lombok Semarang. Balai pengobatan ini melayani semua lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, agama dan ras sesuai dengan visi Yayasan Tjie Lam Tjay. Balai pengobatan buka hari Senin-Sabtu pukul 08-10.00 dan 17.00-19.00. Dokter umum yang siap melayani pasien kurang mampu di balai pengobatan ini antara lain Dr. Tan Sangha Sari, Dr. Donny Saliman, Dr. Eddy Suhartono, Dr. Veronika, Dr. Elly Kusumawardhani dan Dr. Lastri Anggraini.
Balai Pengobatan ini juga menyediakan pengobatan berupa: tusuk jarum akupuntur, dimana Lie Ay Tjien, Lukito dan Lie Sien Djiang sebagai ahlinya. Terdapat pula klinik gigi yang ditangani oleh Drg. Vanny Harijani. Selain itu, Balai Pengobatan Tjie Lam Tjay ini juga melayani masyarakat yang ingin tes gula darah, kolesterol, trigliserid, asam urat, kehamilan, tekanan darah, suntik KB untuk 1 dan 3 bulan, serta khitan. Untuk biaya pengobatan sebesar Rp 13.000, sudah termasuk biaya obat.
Selain itu, balai pengobatan ini juga akan memberikan surat rujukan ke rumah sakit jika pasien memerlukan perawatan lebih lanjut. Fasilitas lain yang dimiliki balai pengobatan ini diantaranya satu unit mobil ambulans hasil sumbangan dari CV. Exab (Bapak Roy Agung Boediono). Juga satu unit bus jenazah dari eks Panitia Sam Po Tay Djien (Ny Sutikno Wijaya). Mobil ambulans dan mobil jenazah tersebut disewakan dengan biaya terjangkau. Kedua mobil tersebut mempunyai fasilitas yang standar. Seperti bus jenazah yang besar, pada bagian belakang pengemudi terdapat sederet kursi berkapasitas 10 orang, dilengakapi mesin pendingin (AC), kotak P3K, serta tabung oksigen. Bagi pasien yang akan memeriksakan gigi, Balai Pengobatan Tjie Lam Tjay dilengkapi perangkat peralatan dokter gigi yang lengkap dari Drg. Agus Gunarso. Khusus untuk pasien gigi dilayani setiap hari Selasa, Rabu dan Jumat pukul 08.00-10.00. Untuk informasi selengkapnya tentang Balai Pengobatan Tjie Lam Tjay bisa menghubungi hot line 024-3546831.
TONG KWIE SEE
2:37 AM
| Edit Post
TONG KWIE SEE
Pada tahun 1796, baginda Djin Tjong atau Ke Khing(Chia Ching), putra mahkota dari Khian Liong Koen diangkat menjadi kaisar di Tiongkok, yang oleh orang Tionghoa masih dipercaya memiliki Chin Bing Thian Tjoe. Kemudian oleh orang Tionghoa dibuat sebagai upacara sembahyangan di Gedung Batu. Upacara tersebut dilakukan untuk keselamatan Kaisar baru dari Tiongkok tersebut. Selanjutnya kegiatan itu diperluas dan dikembangkan lagi agar menjadi lebih baik. Hal itu dilakukan didepan halaman Sam Poo Tong.
Dan harus diakui bahwa tingkat kecermatan orang-orang pada zaman dahulu sangat bagus dan harus mendapatkan pujian dalam merawat benda-bendakuno. Hal ini terbukti bahwa semua barang-barang yang berada di Gedung Batu sangatlah terawat dan masih terlihat bagus.
Pada tahun tersebut, diceritakan bahwa jalan Tudungan atau Petudungan (nama sekarang ini), suasananya masih sangat sepi dan sangat lengang. Lambat laun jalanan tersebut mulai terlihat ramai dan menjadi lebih hidup, begitu juga keadaan jalanan dikampung depannya, yaitu Pekojan. Kemudian jalanan menuju ke Lodji, yaitu sebutan tempat tinggalnya orang-orang Belanda atau yang sekarang disebut Heerenstrart, Kerkstraat, Oudstanduisstraat pun sudah mulai ramai karena banyaknya orang yang melintasi daerah tersebut.
Kendati pada waktu itu, belum banyak rumah-rumah yang didirikan disana. Hanya ada beberapa petak yang berdekatan dengan kali atau sungai area tersebut. Sementara itu, sebelah utara masih berupa tegalan yang didalamnya terdapat beberapa kuburan orang Tionghoa. Didalam kuburan tersebut, diduga ada kuburan-kuburan yang paling kuno di Semarang. Kuburan-kuburan tersebut hanya terbuat dari batu dan tidak terdapat sedikitpun pahatan diatasnya. Karena tidak adanya pahatan yang berada diatas batu tersebut, maka orang tidak pernah tahu kapan dan siapa pemilik kuburan tersebut. Kemudian orang-orang Tionghoa menganggap bahwa kuburan-kuburan tersebut telah berpuluh-puluh tahun lamanya. Bisa jadi itu adalah kuburan dari orang-orang Tionghoa pada zaman dahulu tatkala ketika mereka masih tinggal disekitar Gedung Batu.
Lantaran melihat perkembangan jalan tersebut yang menembus ke Lodji dianggap bagian penting dalam kemajuan kota Semarang, para kompeni (Compagnie) mengajukan permohonan kepada Luitenant Tionghoa supaya kuburan kuno tersebut dipindah ke tempat lain, karena tegalan itu akan dipakai dalam pembangunan rumah penduduk.
Kapitein Tan Yok Sing mendiskusikan usulan tersebut pada Tuan Souw Bing Gie beserta luitenant-luitenant lain. Sebelumnya terlebih dahulu pada ahli waris yang memiliki sanak saudara yang dikubur disana agar melapor pada kapitein. Setelah beberapa bulan diumumkan, ternyata ada beberapa kuburan yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya. Akhirnya kapitein Tan Yok Sing dan ahli warisnya. Akhirnya, kapitein Tan Yok Sing bersama Luitenant Souw Bing Gie mengambil keputusan untuk memindahkan kuburan-kuburan ketempat lain.
Pada zaman itu, terdapat seseorang yang mengenal Hong Soei (fengsui) yang kemudian dimintai tolong untuk mencarikan tempat yang baik untuk kuburan-kuburan tersebut. Karena waktu itu, orang Tionghoa percaya bahwa letak kuburan yang kurang baik dapat mendatangkan bencana atau kesialan bagi keturunan dan orang yang membuatnya. Sebaliknya, hongsoei (fengsui) yang bagus, bisa mendatangkan keselamatan dan keberuntungan pada anak cucu, keturunan, ataupun orang yang membuatnya.
Setelah beberapa hari mencari, akhirnya memilih tempat di kaki Gunung Candi yang waktu itu masuk wilayah Randusari (sekarang menjadi jalan Gergaji). Setelah mendapatkan tempat yang dirasa baik, selanjutnya mencari hari yang dianggap baik dalam melakukan pemindahan kuburan tersebut. Ketika waktu telah ditetapkan, sebelumnya dilakukan upacara sembahyangan dahulu oleh beberapa hweesio, barulah kemudian satu per satu kuburan itu digali.
Dikarenakan peti-petinya telah hancur, tulang-tulangnya dikumpulkan dan dimasukkan kedalam guci-guci. Dengan segala upacara, guci-guci tersebut kemudian diangkut dan dikubur menjadi dua tempat. Kuburan tersebut terletak disebelah utara kebun Gergaji. Karena bentuk kuburannya yang bulat atau bunder, maka kuburan-kuburan itu disebut Bong Bunder atau Bong Kaulan. Mengapa disebut dengan Bong Kaulan? Karena banyak orang Tionghoa yang membayar kaul dikuburan tersebut. Pada setiap malam TJHEE-IT, gouw atau hari Jum’at, banyak orang yang menepi(tidur) disamping Bong bunder untuk memperoleh berkah. Begitu juga pada siang hari, tidak sedikit orang yang datang kesana meminta berkah.
Oleh karena nama-nama orang yang terkubur tidak diketahui, maka beberapa guci yang yang berisi tulang-tulang dikubur menjadi dua. Yang oleh petugas-petugas Tionghoa bersama dengan orang yang pandai dalam menulis sesuatu, kuburan tersebut kemudian dipahat gengan tiga huruf, yaitu TONG KOEI SEE(TONG KWEE SEE). Tiga huruf tersebut memiliki arti tempat sama-sama pulang. Pemindahan ini terjadi pada tahun kedua Ke Khing yaitu sekitar tahun 1797.
Menurut orang Tionghoa, Tong Kwie See ada hubungannya dengan upacara CHENG BENG. Mengapa demikian? Karena Tong Kwie See itulah maka lahirlah Cheng Beng. Cheng Beng hampir sama dengan nyadran dalam bahasa Jawa. Upacara tersebut ditujukan untuk menyembhyangi orang-orang Tionghoa yang telah terkubur dalam Tong Kwie See tersebut. Maka setiap waktu tertentu akan diadakan upacara Cheng Beng untuk mendoakan arwah orang Tionghoa yang telah meninggal itu.
Di lapangan yang menjurus ke arah Lodji atau yang sekarang mejadi jalan Pekojan, didirikan sebuah tanda sebagai penunjuk yang dinamai kias atau tjisoak. Kias atau tjisoak merupakan sebuah batu yang terpahat dengan tulisan LAM BOE O MIE TOO HOET KIAT AN. Dan kemudian pada tahun berikutnya kondisi daerah Pekojan dan sekitarnya berangsur ramai yang asal mulanya hanya berupa tegalan dan kuburan, kini banyak didirikan rumah atau toko. Sehingga siak tersebut hampir tidak kelihatan lagi. Tetapi, orang-orang mampu melihat bekasnya di mulut kampung Tolongan (Petolongan) pada tembok sebelah kanan.
Daerah ini awal mulanya hanya ditempati orang-orang pribumi, lambat laun kampung Tionghoa menjalar sampai daerah ini. Hingga kini, jalan seputar daerah ini sangat ramai dan terhitung sebagai pusatnya perdagangan orang Tionghoa di kota Semarang.
PINDAHNYA KONG KOAN KE TAY KAK SIE
2:36 AM
| Edit Post
PINDAHNYA KONG KOAN KE TAY KAK SIE
Di masa lalu, masyarakat Tionghoa dikota Semarang sangat mementingkan letak bangunan. Tak heran, untuk mendirikan sebuah bangunan, mereka sangat memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Atas dasar keyakinan tersebut sekitar tahun 1771, masyarakat Tionghoa yang berasal dari golongan atas, berkeinginan untuk memindahkan Klenteng Kwan Im Ting di dekat Bale Kambang atau sekarang yanga disebut Gang Blumbang ke tempat baru yang lebih baik.
Namun, pada awalnya keinginan tersebut tidak berjalan dengan mulus. Namun, setelah dilakukan perundingan beberapa kali, akhirnya diputuskan untuk memindahkan klenteng tersebut ditepi Kali Semarang yang oleh masyarakat Tionghoa disebut Kang Kie. Belakangan hari, daerah klenteng tersebut dipindahkan dan disebut Gang Lombok. Dituliskan oleh Liem Thian Joe dalam bukunya Riwayat Semarang yang telah diterbitkan oleh Hasta Wahana (2004), pembangunan Klenteng tersebut menghabiskan dana yang sangat besar. Para pekerjanya-pun didatangkan langsung dari Tiongkok.
Pembangunan klenteng tersebut dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun. Oleh masyarakat Tionghoa, klenteng tersebut dinamakan Tay Kak Sie. Pada saat memindahkan patung-patung dari Klenteng Kwam Im Ting menuju klenteng baru dan kemudian diadakan suatu perayaan yang meriah. Pada tahun 1845, Klenteng Tay Kak Sie mengalami renovasi pertama.
Dengan pertimbangan untuk lebih mendekatkan lokasi gedung Kong Koan dengan warga, maka pada tahun 1837, Majoor Titulair Tan Hong Yan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa saat itu untuk diizinkan memakai sebidang tanah di sebelah Klenteng Tay Kak Sie, yang waktu itu masih berupa kebun lombok. Kebetulan lokasi lahan itu cukup dekat dengan pemukiman warga China. Rupanya permohonan Majoor Titulair Tan Hong Yan itu dikabulkan oleh pemerintah. Maka, di lahan kebun lombok itupun didirikan bangunan untuk gedung Kong Koan. Dan setelah gedung itu berdiri, Majoor Titulair Tan Hong Yan kemudian memberi nama Tjie Lam Tjay. Kata Tjie Lam Tjay sendiri berasal dari kata Tji = jari penunjuk, Lam = selatan digabung menjadi satu berarti kompas dan Tjay = rumah, bangunan. Berdasarkan nama Tjie Lam Tjai kegiatan yang dilakukan yaitu bertujuan dalam sosial. Tjie Lam Tjay bisa dikategorikan sebagai information center (pusat informasi).
Sejak itu, Tjie Lam Tjay juga berkewajiban memelihara klenteng, memberikan bantuan kepada orang Tionghoa yang meninggal dalam keadaan miskin dan terlantar, serta mengurus makam Tionghoa. Lambat laun, pendatang China yang terlibat dalam Tjie Lam Tjay pun semakin banyak. Karena itu, oleh tuan Gan Kang Sioe, Tjie Lam Tjay diajukan permohonan menjadi Veereniging atau semacam perhimpunan/perkumpulan kepada pemerintah Hindia Belanda. Permohonan itu dikabulkan, dan Tjie Lam Tjay mendapat Hak Rechtspersoon.
Pada tanggal 7 Pebruari 1931, Resident di Semarang telah menyatakan sesuai dengan keputusan pemerintah bahwa Chineese Raad atau yang orang Tionghoa disebut Kong Koan akan dihapus. Dengan terhapusnya Kong Koan, maka sistem perkantoran Kong Koan-pun ikut berubah. Dan kemudian nama dari Kong Koan berubah menjadi Tjie Lam Tjay. Secara otomatis, tugas-tugas dari Kong Koan beralih ke Tjie Lam Tjay.
BERDIRINYA KONG TIK SOE
Kong Tik Soe adalah sebuah tempat atau rumah penitipan abu bagi orang-orang Tionghoa yang telah meninggal. Kata Kong Tik Soe memiliki arti dan maksud tujuan di bidang sosial. Kong= umum, Tik= budi, kebajikan, dan Soe=leluhur. Jadi, maksud dari kata Kong Tik Soe sama dengan kalimat yang telah diuraikan diatas, yaitu bergerak dibidang sosial.
Menurut sumber yang telah ada, Kong Tik Soe berdiri pada tahun 1845 atas kerja sama antara Khouw Giok Soen, Tan Hong Yan, dan Be Ing Tjioe. Mereka telah berdiskusi dalam perombakan Kong Koan lama menjadi sebuah tempat atau gedung baru yang dapat berguna bagi orang yang membutuhkan. Menurut orang-orang Tionghoa, Khouw Giok Soen merupakan saudagar yang terkenal pada masa itu di Gang Warung. Jadi, dari ketiga orang tersebut Majoor Titulair Tan Hong Yan, Tuan Khouw Giok Soen dan Majoor Bhe Ing Sioe adalah orang-orang penting yang memprakarsai pembangunan gedung Kong Tik Soe di sekitar Tay Kak Sie.
Bersamaan dengan berdirinya Kong Tik Soe, klenteng Tay Kak Sie-pun juga direnovasi. Renovasi Tay Kak Sie yang pertama yaitu pada akhir tahun 1845 yang beberapa kemudian jabatan dari Tuan Be Biauw Tjoan naik menjadi seorang Luitenant. Maksud didirikannya Kong Tik Soe dinyatakan kedalam sebuah prasasti yang terpahat pada sebuah batu yang dipasang disebelah kanan, yang memperjelas kegunaan dari Kong Tik Soe.
Setelah perbaikan klenteng tersebut, kemudian didirikanlah Gedung Kong Tik Soe agar selamanya dapat memberikan kebajikan pada seluruh rakyat. Bagian tengah pada tempat tersebut digunakan untuk sembahyang bagi keluarga kaya. Pada bagian pinggir digunakan untuk orang yang tidak memiliki ahli waris. Berdirinya gedung tersebut juga memiliki tujuan dalam memberi pertolongan para pejalan yang sengsara baik laki-laki maupun perempuan, tua atau muda, dan anak-anak yatim piatu yang tak berpendidikan dan tak mampu bersekolah. Semua harus mendapat perlakuan yang sama dalam mendapat kasih. Di tempat itu juga didirikan sekolah guna memberikan pendidikan bagi anak-anak.
Dengan berdirinya Tay Kak Sie dan Kong Tik Soe yaitu memberi tahu pada orang-orang dikemudian hari supaya dilestarikan dan mengharapkan sepenuh hati pada orang-orang kaya waktu itu, agar bersedia membantu untuk hal yang bertujuan mulia tersebut.
Gedung Kong Tik Soe dibagi menjadi beberapa ruangan. Ruangan yang berada disebelah barat digunakan untuk Kon Koan, tetapi pada waktu itu belum terjadi adanya suatu kesatuan atau badan yang sah karena Kong Koan baru diakui oleh pemerintah sekitar tahun 1885. Sementara bagian tengah, dipakai sebagai tempat sien-Tji atau tempat pemujaan leluhur, seperti yang telah dikemukakan pada sebuah prasasti. Orang yang yang ingin mengirim sien-tji dari sanak keluarganya yang telah meninggal dikenakan biaya perawatan sien-tji sekitar ƒ1000 untuk meja yang ditengah dan ƒ400 untuk peletakan sien-tji sebelah kanan atau kiri. Harga tersebut dipasang tanpa pandang bulu dari kalangan mana mereka yang ingin menitipkan sien-tji.
Kemudian pada Majoor Be Biauw Tjoan, Kong Tik Soe membuat satu keputusan yang menghapus harga penitipan sien-tjie. Hal tersebut dipertimbangkan lagi dengan tujuan berdirinya Kong Tik Soe di bidang sosial. Kong Tik Soe juga terbuka untuk semua kaum yang ingin menitipkan sien-tji-nya.
Berdirinya Kong Tik Soe ternyata ada kaitannya dengan berdirinya Tji Lam Tjay dan Kong Koan. Mengapa demikian? Karena kantor Tji Lam Tjay dan Kong Koan berada didalamnya. Gedung bagian sebelah kanan Kong Tik Soe digunakan sebagai kantor Tji Lam Tjay. Sedangkan yang sebelah kiri ialah Kong Koan.
TERBENTUKNYA YAYASAN TJI LAM TJAY
Seperti yang telah disinggung sedikit diatas, Tji Lam Tjay telah berdiri sekitar pada tahun 1837 atas pengajuan permohonan Kapitein Tan Hong Yan yang berubah gelar menjadi Majoor Titulair karena jasa-jasanya terhadap kemajuan orang Tionghoa. Beliau mengajukan sebidang tanah yang berada disamping Tay Kak Sie, yang pada waktu itu masih berupa kebun lombok untuk didirikan sebuah yang berfungsi sebagai tempat atau wadah dalam melakukan berbagai tugas dari Kong Koan. Asal tempatnya yang berawal hanya kebun lombok, maka tempat tersebut terkenal dengan sebutan Gang Lombok. Dan klenteng yang berada didekatnya pun disebut dengan Klenteng Gang Lombok. Menurut Tuan Tan Hong Yan, dengan berdirinya sebuah kantor yang terletak berada di jalan tersebut, itu merupakan hal yang baik. Kenapa? Karena banyak orang Tionghoa yang mendirikan kampung dan menetap disana.
Karena letaknya yang dekat dengan kampung orang Tionghoa, maka kantor tersebut dijadikan sebuah tempat dimana orang Tionghoa dapat mencari petunjuk disana. Oleh tempat itu yang hanya berupa sebuah Kong Koan, lambat laun oleh Tuan Tan Hong Yan di ubah menjadi Tji Lam Tjay, yang berarti sebuah kantor penunjuk. Sebab, disini orang-orang dapat meminta petunjuk yang sesuai dengan permasalahan mereka masing-masing. Karena para petugasnya bukan terdiri dari satu orang saja, dan agar masing-masing petugas dapat melakukan hal yangb baik untuk bangsanya, maka Tuan Tan Hong Yan menyarankan agar mereka datang di Kong Koan atau Tji Lam Tjay secara bergiliran. Hal itu mempermudah dalam pembagian mengurus masalah orang-orang Tionghoa. Hal tersebut terjadi sekitar tahun 1837. Pada tahun tersebut pulalah Tji Lam Tjay terbentuk.
Saking banyaknya tugas Kong Koan dan Tji Lam Tjay, keduanya kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama yaitu mengurus tugas yang menyangkut denag kepolisian, pajak, undang-undang, perkawinan, kematian, kelahiran, dan lain sebagainya. Yang kedua yaitu mengurus dan merawat klenteng-klenteng, menolong orang miskin yang meninggal dan terlantar, mengurus tanah perkuburan orang Tionghoa, dan sebagainya. Kemudian Tji Lam Tjay dijadikan sebuah vereeniging yang oleh Tuan Gan Kang Sioe diajukan hak rechspersoon.
Pada saat itu, kegiatan yang dilakukan keduanya sangat mulia, khususnya Tji Lam Tjay. Maka orang Tionghoa menginginkan Tji Lam Tjay tetap ada dan sampai sekarang kegiatan yang dilakukan oleh Tji Lam Tjay tetap aksis. Tugas-tugas dari Tji Lam Tjay kemudian oleh Prof. Koo Tjay Sing, S.H. sebagai penasehat hukum mulai membenahi tugas kewajiban Perkumpulan Tjie Lam Tjay terutama dalam bidang keuangan. Hal inilah yang mendasari terbentuknya Yayasan Tjie Lam Tjay dan Yayasan Klenteng Besar Gang Lombok sesuai dengan nasehat dari Tuan Njoo Bhek Gee. Disamping itu, Perkumpulan Tjie Lam Tjay masih tetap aksis sampai saat ini.
Tjie Lam Tjay mendapatkan pengesahan sebagai YAYASAN dengan Akta No. 34, tgl. 11 Juni 1963, Notaris Tan A Sioe, dengan nama “ Yayasan Dana Kematian Tjie Lam Tjay”. Selanjutnya Yayasan Tjie Lam Tjay mempunyai tugas mengurus penguburan dan barang-barang untuk mengubur, serta merawat kuburan orang–orang yang meninggal dunia dalam keadaan terlantar atau keluarganya tidak dapat diketahui keberadaannya ataupun dari golongan yang tidak mampu. Dalam hal ini, yayasan Tji Lam Tjay tidak pernah memilah-milah atau pilih kasih dalam membantu seseorang yang sedang kesusahan. Meskipun namanya telah berganti menjadi sebuah yayasan, tetapi tugas yang dijalankan masih bersifat sosial terhadap sesama.
Sedangkan untuk Perkumpulan Tjie Lam Tjay mempunyai maksud dan tujuan yaitu memelihara klenteng Tay Kak Sie di Semarang. Hal ini ditujukan dalam arti kata yang seluas-luasnya, termasuk juga menyelenggarakan sembahyang, bekerja sama dengan klenteng–klenteng dan badan–badan keagamaan lainnya. Selain itu juga mengurus atau memberikan bantuan untuk penguburan jenasah orang–orang yang meninggal dunia di Semarang dan yang keluarganya dalam keadaan kurang maupun tidak mampu.
Adapun nama-nama tokoh yang berperan dalam Tji Lam Tjay pada waktu itu sampai sekarang selain Prof. Koo Tjay Sing, S.H. antara lain:
NO.
|
NAMA
|
NO.
|
NAMA
|
NO.
|
NAMA
|
1
|
TAN TIANG TJHING
|
43
|
TAN GEE HOEN
|
85
|
POO SOEN KOK
|
2
|
TAN HONG YAN
|
44
|
KIE TING TONG
|
86
|
PAUL SAERANG
|
3
|
TAN TJONG HOAY
|
45
|
LIEM KIEM SIANG
|
87
|
WONG AMAN G.W.
|
4
|
GAN KANG SIOE
|
46
|
TJIOE PING HWIE
|
88
|
OEI TJANG TJOE
|
5
|
KHOUW GIOK SOEN
|
47
|
TJENG TJIEN HIAN
|
89
|
TAN ENG SIE
|
6
|
BE ING TJIOE
|
48
|
LIEM GWAN SOEN
|
90
|
LIEM KHA KING
|
7
|
KIEM SWA (L)
|
49
|
SIE KING IEN
|
91
|
LILIK ARIS P.H.
|
8
|
TAN THIAN LAM
|
50
|
ONG YONG HWIE
|
92
|
ROY AGUNG B.
|
9
|
KIEM TJHIANG (L)
|
51
|
LOE ING LIEM
|
93
|
EKO WARDOJO
|
10
|
SOEI TJHING (L)
|
52
|
NEE KIEM HWAT
|
94
|
TJIOE WIE BING
|
11
|
LIE GIEN SAY
|
53
|
KWEE KEH YOE
|
95
|
TAN HONG SWAN
|
12
|
THUNG DJIEN SING
|
54
|
OH KIM TJONG
|
96
|
LIEM IE IE
|
13
|
TAN KIOE LIONG
|
55
|
ANG TIANG SING
|
97
|
TAN HING TIONG
|
14
|
LOA HOK SING
|
56
|
TAN KING GIE
|
98
|
TAN SIANG FU
|
15
|
LIEM SA LAK
|
57
|
BEH KWAT KING
|
99
|
LEI LIANG THE
|
16
|
HOO KONG SING
|
58
|
OEIJ MO SING
|
100
|
LINA
|
17
|
THE TING LIAUW
|
59
|
TING SAM HIEN
|
101
|
OEI SIOE YEK
|
18
|
TAN PHAN KWA
|
60
|
SIE KIEN KIE
|
102
|
PHAN PIE IE
|
19
|
TAN KEE SING
|
61
|
LIEM TJIEN IK
|
103
|
TAN LAN SIANG
|
20
|
TAN GIOK IN
|
62
|
TAN THIAM SING
|
104
|
HERLINA
|
21
|
TIK GOAN (L)
|
63
|
ANG SIOK LIE
|
105
|
MAGGIE SUKAMTO
|
22
|
123 ORANG
|
64
|
GHO TJIANG
|
106
|
TAN DJAY LAN
|
23
|
Ny. TANDJOENG TÊNG BING NIO
|
65
|
OUW TJIAUW POET
|
107
|
METTA PRANOTO
|
24
|
Ny. TAN GIOK IN
|
66
|
OEI BOEN SIAH
|
108
|
TAN GIOK LING
|
25
|
Ny. OEI KONG TAM
|
67
|
TJOA KENG THIAM
|
109
|
TAN EK DJUN
|
26
|
Ny. SIEM KOEN PING
|
68
|
KWEK THIAM SIOE
|
110
|
TAN GIOK SENG
|
27
|
Ny. ONG HONG HOAT
|
69
|
GO THIAM BING
|
111
|
TJOE SHIA ING
|
28
|
BE BIAUW TJOAN (M)
|
70
|
LIE KIANG DJOE
|
112
|
THIO BWEE SIEN
|
29
|
NJOO BHEK GEE
|
71
|
SIH KIK YAUW
|
113
|
DONNY SALIMAN, dr
|
30
|
SIE KHAY HIE
|
72
|
KHOUW KIAN HOO
|
114
|
TAN SANGHA SARI, dr
|
31
|
LIEM MO LIEN
|
73
|
TAN BING OE
|
115
|
CHEN SU YEN
|
32
|
TAN SIAUW LIP (M)
|
74
|
LIE ING LIM
|
116
|
DJUNAEDI
|
33
|
LIEM KIOK LIAM
|
75
|
SIE POEN LIP
|
117
|
LIEM TIEN NIO
|
34
|
OEI DJIE SIN
|
76
|
OEI BOEN HWAT
|
118
|
NANCY DJUWITA OENTORO
|
35
|
TIO KIAT LIAN
|
77
|
LIEM TJIEN HOO
|
119
|
LILY MARLINA
|
36
|
TAN TOEN HWAN
|
78
|
SIE ING LIONG
|
120
|
TAN DAVID PUTRANTO
|
37
|
TJOA HIAN IE
|
79
|
WIDJAJA SUTANDIJO
|
121
|
JAUW HILDA LESTARI D
|
38
|
LIEM PEK HIAN
|
80
|
ONG TIONG WAN
|
122
|
ONG HONG SWAN TONNY
|
39
|
TAN SING HWIE
|
81
|
THIO TEK DJOEN
|
123
|
LIE KHA LENG
|
40
|
LOE SIOE TIK
|
82
|
KO TJAY SING, Prof
|
124
|
HERU GUNADI
|
41
|
TIONG SIOE THIAM
|
83
|
SLAMET SANTOSO, SH
|
125
|
CONNY SYLVANIA SANJAYA
|
42
|
OH KANG HAN
|
84
|
PHAN WOEN SIOE
|
126
|
EDHY SUTANTO
|
Subscribe to:
Posts
(Atom)