Saturday, May 7, 2016
TONG KWIE SEE
2:37 AM
| Edit Post
TONG KWIE SEE
Pada tahun 1796, baginda Djin Tjong atau Ke Khing(Chia Ching), putra mahkota dari Khian Liong Koen diangkat menjadi kaisar di Tiongkok, yang oleh orang Tionghoa masih dipercaya memiliki Chin Bing Thian Tjoe. Kemudian oleh orang Tionghoa dibuat sebagai upacara sembahyangan di Gedung Batu. Upacara tersebut dilakukan untuk keselamatan Kaisar baru dari Tiongkok tersebut. Selanjutnya kegiatan itu diperluas dan dikembangkan lagi agar menjadi lebih baik. Hal itu dilakukan didepan halaman Sam Poo Tong.
Dan harus diakui bahwa tingkat kecermatan orang-orang pada zaman dahulu sangat bagus dan harus mendapatkan pujian dalam merawat benda-bendakuno. Hal ini terbukti bahwa semua barang-barang yang berada di Gedung Batu sangatlah terawat dan masih terlihat bagus.
Pada tahun tersebut, diceritakan bahwa jalan Tudungan atau Petudungan (nama sekarang ini), suasananya masih sangat sepi dan sangat lengang. Lambat laun jalanan tersebut mulai terlihat ramai dan menjadi lebih hidup, begitu juga keadaan jalanan dikampung depannya, yaitu Pekojan. Kemudian jalanan menuju ke Lodji, yaitu sebutan tempat tinggalnya orang-orang Belanda atau yang sekarang disebut Heerenstrart, Kerkstraat, Oudstanduisstraat pun sudah mulai ramai karena banyaknya orang yang melintasi daerah tersebut.
Kendati pada waktu itu, belum banyak rumah-rumah yang didirikan disana. Hanya ada beberapa petak yang berdekatan dengan kali atau sungai area tersebut. Sementara itu, sebelah utara masih berupa tegalan yang didalamnya terdapat beberapa kuburan orang Tionghoa. Didalam kuburan tersebut, diduga ada kuburan-kuburan yang paling kuno di Semarang. Kuburan-kuburan tersebut hanya terbuat dari batu dan tidak terdapat sedikitpun pahatan diatasnya. Karena tidak adanya pahatan yang berada diatas batu tersebut, maka orang tidak pernah tahu kapan dan siapa pemilik kuburan tersebut. Kemudian orang-orang Tionghoa menganggap bahwa kuburan-kuburan tersebut telah berpuluh-puluh tahun lamanya. Bisa jadi itu adalah kuburan dari orang-orang Tionghoa pada zaman dahulu tatkala ketika mereka masih tinggal disekitar Gedung Batu.
Lantaran melihat perkembangan jalan tersebut yang menembus ke Lodji dianggap bagian penting dalam kemajuan kota Semarang, para kompeni (Compagnie) mengajukan permohonan kepada Luitenant Tionghoa supaya kuburan kuno tersebut dipindah ke tempat lain, karena tegalan itu akan dipakai dalam pembangunan rumah penduduk.
Kapitein Tan Yok Sing mendiskusikan usulan tersebut pada Tuan Souw Bing Gie beserta luitenant-luitenant lain. Sebelumnya terlebih dahulu pada ahli waris yang memiliki sanak saudara yang dikubur disana agar melapor pada kapitein. Setelah beberapa bulan diumumkan, ternyata ada beberapa kuburan yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya. Akhirnya kapitein Tan Yok Sing dan ahli warisnya. Akhirnya, kapitein Tan Yok Sing bersama Luitenant Souw Bing Gie mengambil keputusan untuk memindahkan kuburan-kuburan ketempat lain.
Pada zaman itu, terdapat seseorang yang mengenal Hong Soei (fengsui) yang kemudian dimintai tolong untuk mencarikan tempat yang baik untuk kuburan-kuburan tersebut. Karena waktu itu, orang Tionghoa percaya bahwa letak kuburan yang kurang baik dapat mendatangkan bencana atau kesialan bagi keturunan dan orang yang membuatnya. Sebaliknya, hongsoei (fengsui) yang bagus, bisa mendatangkan keselamatan dan keberuntungan pada anak cucu, keturunan, ataupun orang yang membuatnya.
Setelah beberapa hari mencari, akhirnya memilih tempat di kaki Gunung Candi yang waktu itu masuk wilayah Randusari (sekarang menjadi jalan Gergaji). Setelah mendapatkan tempat yang dirasa baik, selanjutnya mencari hari yang dianggap baik dalam melakukan pemindahan kuburan tersebut. Ketika waktu telah ditetapkan, sebelumnya dilakukan upacara sembahyangan dahulu oleh beberapa hweesio, barulah kemudian satu per satu kuburan itu digali.
Dikarenakan peti-petinya telah hancur, tulang-tulangnya dikumpulkan dan dimasukkan kedalam guci-guci. Dengan segala upacara, guci-guci tersebut kemudian diangkut dan dikubur menjadi dua tempat. Kuburan tersebut terletak disebelah utara kebun Gergaji. Karena bentuk kuburannya yang bulat atau bunder, maka kuburan-kuburan itu disebut Bong Bunder atau Bong Kaulan. Mengapa disebut dengan Bong Kaulan? Karena banyak orang Tionghoa yang membayar kaul dikuburan tersebut. Pada setiap malam TJHEE-IT, gouw atau hari Jum’at, banyak orang yang menepi(tidur) disamping Bong bunder untuk memperoleh berkah. Begitu juga pada siang hari, tidak sedikit orang yang datang kesana meminta berkah.
Oleh karena nama-nama orang yang terkubur tidak diketahui, maka beberapa guci yang yang berisi tulang-tulang dikubur menjadi dua. Yang oleh petugas-petugas Tionghoa bersama dengan orang yang pandai dalam menulis sesuatu, kuburan tersebut kemudian dipahat gengan tiga huruf, yaitu TONG KOEI SEE(TONG KWEE SEE). Tiga huruf tersebut memiliki arti tempat sama-sama pulang. Pemindahan ini terjadi pada tahun kedua Ke Khing yaitu sekitar tahun 1797.
Menurut orang Tionghoa, Tong Kwie See ada hubungannya dengan upacara CHENG BENG. Mengapa demikian? Karena Tong Kwie See itulah maka lahirlah Cheng Beng. Cheng Beng hampir sama dengan nyadran dalam bahasa Jawa. Upacara tersebut ditujukan untuk menyembhyangi orang-orang Tionghoa yang telah terkubur dalam Tong Kwie See tersebut. Maka setiap waktu tertentu akan diadakan upacara Cheng Beng untuk mendoakan arwah orang Tionghoa yang telah meninggal itu.
Di lapangan yang menjurus ke arah Lodji atau yang sekarang mejadi jalan Pekojan, didirikan sebuah tanda sebagai penunjuk yang dinamai kias atau tjisoak. Kias atau tjisoak merupakan sebuah batu yang terpahat dengan tulisan LAM BOE O MIE TOO HOET KIAT AN. Dan kemudian pada tahun berikutnya kondisi daerah Pekojan dan sekitarnya berangsur ramai yang asal mulanya hanya berupa tegalan dan kuburan, kini banyak didirikan rumah atau toko. Sehingga siak tersebut hampir tidak kelihatan lagi. Tetapi, orang-orang mampu melihat bekasnya di mulut kampung Tolongan (Petolongan) pada tembok sebelah kanan.
Daerah ini awal mulanya hanya ditempati orang-orang pribumi, lambat laun kampung Tionghoa menjalar sampai daerah ini. Hingga kini, jalan seputar daerah ini sangat ramai dan terhitung sebagai pusatnya perdagangan orang Tionghoa di kota Semarang.